The Gladiator Tale

 

Gegap gempita keriuhan penonton di arena pertandingan gladiator itu sementara mereda ketika dua gerbang besar dibuka , satu di setiap sisi arena . Dari keluar dari gerbang timur melangkah seorang gladitor retiarius dengan tubuh tinggi dan berotot, kulit hitam legamnya yang berkeringat nampak mengkilap di bawah sinar matahari yang hari itu bersinar terik. Sebagai catatan, retiarius adalah gladiator dengan dengan senjata jaring untuk menjerat lawan mereka serta sebilah tombak trisula. Pelindung badan retiarius lebih minim, hanya berupa pelindung lengan, bahu serta tulang kering, tanpa helm, karena type petarung ini lebih mengandalkan kecepatan dan kelincahan.
“Kita sambut….HASDRUBAL!! Jagal dari Sahara!!” seru pembawa acara dari podium utama.
Penonton menyambut meriah dengan teriakan dan tepuk tangan, taruhan mulai dipasang di antara mereka. Setelah itu gerbang barat membuka dan seorang gladiator type myrmilo yang akan menjadi lawan Hasdrubal melangkah keluar ke arena berpasir. Ia memiliki tubuh yang lebih besar dan kulitnya pucat, wajahnya tertutup oleh helm berukiran ikan mitologis dan rambut pirangnya yang panjang melambai tertiup angin. Lengan kanannya yang bertato khas Celtik memegang pedang gladius yang masih berlumuran darah lawan sebelumnya sementara tangan kirinya memegang perisai berukuran sedang. Seketika semua orang dalam kerumunan itu mengenalinya karena dialah sesungguhnya yang ditunggu-tunggu oleh mereka, juara tak terkalahkan dari arena, pembunuh tak kenal ampun dari kepulauan Britania yang saat itu masih barbar. Dia pernah menghabisi lima lawan sekaligus dalam suatu pertandingan, bukan hanya manusia, binatang-binatang liar seperti macan, singa, dan beruang pun sudah menjadi korbannya.
“Dan dari sisi barat, inilah dia….sang juara bertahan, LIBERIUS!! Bayangan Kematian!!”
Sambutan penonton lebih meriah dan histeris dari sebelumnya, mereka sudah tidak sabar melihat darah tertumpah di arena. Kedua gladiator tersebut mendekati pusat arena dan berbalik menghadap podium utama dimana tamu penting yang meliputi senator, pejabat lokal, lanista (pemilik sekolah gladiator), beserta keluarganya duduk. Setelah editor (penyelenggara acara) memberi isyarat tanda pertarungan dimulai, terompet pun dibunykan. Hasdrubal membuka serangan awal dengan melompat ke arah Liberius yang dikejutkan oleh kecepatannya belum cukup sadar untuk menghindari ujung trisulanya. Sambil berlindung di balik tamengnya ia berusaha mendekati Hasdrubal. Namun gladiator dari Afrika itu menggunakan kelincahannya tetap menjaga jarak dan menyerang Liberius dengan trisulanya. Begitu Liberius menjauh, ia mulai mempersiapkan serangan jaring, mula-mula ia tancapkan mata garpunya ke pasir guna mencegah senjata itu tersangkut ke jaring. Ia memutar-mutar jaring itu lalu melemparkannya ke arah Liberius dan mengena, namun bagaikan singa, Liberius terus merangsek ke depan dalam jeratan jaring. Gladius di tangannya berkelebat dan menusuk paha Hasdrubal hingga ia terjatuh. Namun dengan lincah ia berguling ke samping dan berhasil bangkit ketika Liberius melangkah maju dan berusaha menyerang lengannya yang memegang jaring. Meskipun dihalau dengan trisula, Liberius yang dilindungi oleh tamengnya terus melancarkan serangan. Senjata mereka beradu menimbulkan bunyi berdentang yang nyaring. Keduanya melompat ke belakang menjaga jarak dan bersiap menyerang kembali. Orang-orang menahan nafas menyaksikan duel ini semakin mendebarkan. Kedua gladiator ini memang petarung berpengalaman yang sudah memiliki rekor bertarung yang tidak diragukan lagi, sehingga tidak heran penonton hari itu lebih banyak dari hari-hari biasa. Hasdrubal kembali menyerang, kali ini ia merangsek ke depan sambil mengayunkan trisulanya berusaha menebas Liberius. ‘Trang!’ Liberius menghantamkan tamengnya pada senjata lawan membuat tangan Hasdrubal bergetar, saat itulah ia melakukan manuver berupa gerakan memutar ke belakang punggung si gladiator Afrika dan menyikut punggungnya.

“Aaakkhhh!!” Hasdrubal mengaduh dan terhuyung-huyung merasakan sakit pada tulang punggungnya.
Tanpa memberi kesempatan, Liberius menerjang dan menebaskan gladiusnya, namun gerakannya dengan segera terbaca oleh Hasdrubal yang menusukkan trisulanya. Sekali lagi tameng Liberius menyelamatkannya namun kali ini karena jarak yang dekat, trisula Hasdrubal berhasil menggores lengan kiri Liberius lalu ‘trang!’ Hasdrubal dengan cepat memutar senjatanya dan memakai ujung bawahnya menghantam kepala Liberius yang dilindungi helm. Walaupun pukulan itu hanya menghantam helmnya, namun tak urung Liberius pun terhuyung ke belakang dan telinganya berdenging akibat hantaman keras itu pada pelindung kepalanya. Selama beberapa saat keduanya saling hindar, saling tangkis dan saling tunggu kesempatan menyerang balik. Hasdrubal nampak berada di atas angin ketika ia kembali menyarangkan pukulan ke helm Liberius sehingga memaksa gladiator bertubuh raksasa itu melepas dan membuang helmnya karena penyok sehingga terlihatlah wajah garang di balik helm itu yang terdapat beberapa luka codet hasil pertarungan. Namun akhirnya dalam suatu kesempatan Liberius berhasil menemukan celah di antara serangan Hasdrubal yang meleset dan berhasil memotong lengannya yang memegang trisula. Penonton langsung berseru kegirangan melihat adegan darah tertumpah dan anggota tubuh terpotong itu. Kemunafikan sikap sosial masyarakat Romawi terhadap gladiator tersebut menyebabkan beberapa filsuf secara gamblang menyerang para senator dan warga professional yang menganggap gladiator itu rendah dan sederajat dengan pelacur namun juga gemar menonton aksi mereka di arena.
“Liberius!! Liberius!! Liberius!!” demikian seruan dari bangku penonton mengelu-elukan nama sang juara bertahan yang berhasil mengalahkan lawannya.
Hasdrubal berlutut dan meringis kesakitan memegangi lengannya yang terpotong, ia telah kalah dan siap untuk menerima nasibnya.
“Selamat…kau…pemenangnya, cepat lakukan, aku tidak sudi hidup sebagai orang cacat!” kata Hasdrubal.
“Akan kulakukan secepat mungkin kawan, tanpa rasa sakit!”
Liberius meletakkan pedangnya di depan tenggorokan Hasdrubal. Setelah menunggu beberapa saat untuk melihat suasana hati para penonton, editor bersiap memberi keputusan. Ia merentangakan tangannya yang terkepal ke depan, menyiapkan jempolnya, inilah saat yang paling mendebarkan karena akan menentukan hidup atau matinya mereka yang kalah. Beberapa detik kemudian, sang editor mengarahkan jempolnya ke bawah, pertanda Hasdrubal harus mati. Liberius yang juga ingin mengakhiri penderitaan lawannya itu segera mendorongnya ke depan hingga gladius itu mengiris leher Hasdrubal. Pertandingan selesai, Hasdrubal ambruk ke pasir bergelimang darahnya. Seorang budak segera masuk ke arena untuk menyeret tubuh Hasdrubal yang sudah tidak bernyawa itu keluar dari arena. Sementara sang pemenang, Liberius, mendapat hadiah uang, ketenaran, perhatian publik dan ranting palma. Sebuah kemenangan gemilang yang mengakhiri pertandingan seru hari itu.

########################
Ludus Ampilatus

Di kamarnya Liberius menghitung uang yang didapatnya hari itu, jumlah yang cukup besar. Dia memperhatikan catatan tabungannya dengan hati senang.
“Ya…segera, ” ia mengingatkan dirinya sendiri, “segera kebebasan itu akan kuperoleh”
Ia tidak sadar seseorang sudah berdiri di pintu kamarnya yang setengah terbuka dan memperhatikannya.
“Ohhh…dominus (tuan)…maaf saya tidak memperhatikan” sahut pria bertubuh besar itu lalu berdiri ketika menyadari kehadiran tuannya.
“Tidak apa, santai saja…” pria umur empat puluhan berpostur sedang itu tersenyum dan melangkah masuk.
Pria ini bernama Quintus Ampilatus, salah satu lanista terkenal di Pompeii, sudah empat tahun lebih Liberius bertarung di bawah nama ludusnya. Ia sudah mendatangkan banyak keuntungan bagi pria ini melalui pertaruhan nyawa di arena. Sebagai gladiator andalan, Ampilatus pun memberikannya kamar pribadi, terpisah dari para budak dan gladiator lainnya yang kebanyakan tidur bersama dalam sel atau kamar sempit.
” Penampilan yang bagus Liberius” katanya, “seperti biasa kau memang tidak pernah mengecewakan” puji pria itu seraya menepuk pundaknya.
“Melayani anda, kehormatan bagiku” Liberius berkata dengan suara rendah.
“Besok malam kita mendapat undangan untuk hadir di villa Senator Gaius, bersiaplah untuk itu! Bersihkan dirimu, saya sudah menyiapkan hadiah kecil di kamar mandi” Ampilatus mengangkat alis dengan senyum penuh arti.

——————————-

“Selamat sore tuan!” sapa seorang gadis budak berparas cantik menyambut Liberius di tempat pemandian.
Liberius hanya mengangguk membalas sapaan gadis itu, inilah hadiah yang dimaksud oleh tuannya, seperti biasa Ampilatus memang terbilang royal dalam memberi penghargaan bagi para gladiator maupun pelayannya. Gadis berambut hitam ikal itu membuka ikat pinggang Liberius kemudian tuniknya. Terakhir ia membuka cawat pria itu dan langsung tertegun melihat penis Liberius yang berukuran besar itu, padahal itu baru setengah ereksi. Gladiator itu pun melangkah masuk ke dalam bak dan menyandarkan punggung lalu menghela nafas. Air dingin itu terasa memberi kesegaran di musim panas seperti ini, bekas-bekas pertarungan tadi seolah hilang olehnya. Setelah merapikan pakaian Liberius, gadis itu pun melepas pakaiannya, gaun biru muda dari bahan tipis itu pun terlepas dari tubuhnya lalu ia melepaskan juga celana dalamnya. Kemudian dengan santai ia pun masuk ke bak, meraih handuk bersih di bibir bak dan mulai mengelap tubuh kekar Liberius.

“Aku baru pernah melihatmu, siapa namamu?” tanya Liberius bersandar pada posisi nyaman merenggangkan otot-ototnya, meskipun matanya setengah terpejam, ia mengamati tubuh telanjang si gadis budak itu, begitu indah dan putih dengan payudara sedang dan bulu kemaluan dibiarkan tumbuh lebat pada selangkangannya.
“Marcia! Aku baru bulan kemarin masuk ke sini dan bekerja di bagian dapur” jawab gadis itu sambil mengelap pundak Liberius, darahnya berdesir meraba lengannya yang kokoh itu, tubuhnya yang penuh luka tebasan dan tato di lengan kanannya menciptakan aura macho dalam diri gladiator itu.
“Nama yang indah, seindah orangnya” puji Liberius, “darimana asalmu? Dari logat bicara sepertinya kau dari timur. Hhhmmm…biar kutebak…Persia?”
Marcia menggeleng dengan wajah tertunduk menyembunyikan senyum dikulum, merasa tersanjung dengan pujian tadi.
“Mesir…tidak-tidak, mereka tidak seputih ini, Asiria?” tebaknya lagi
Marcia mengangguk dan tersenyum, ia berpindah ke pundak yang satu lagi disertai pijatan.
“Kau berasal dari jauh, apa masih punya keluarga di sini?”
Gadis itu menggeleng, “kedua orang tua dan dua adik saya semua meninggal…wabah, hanya aku yang selamat dan berakhir di tangan penjual budak dan sampai di tempat ini” katanya lirih.
Liberius manggut-manggut perlahan, ia merasa kasihan dengan gadis ini.
“Nasehatku manis….keraslah pada dirimu di negeri asing ini, maka kehidupan itu akan terasa lembut, jangan sebaliknya karena itu akan menjadi bencana bagimu” kata gladiator itu menatap tajam mata Marcia.
“Eeemmm” gadis itu mengangguk memikirkan kata-kata bijak sang gladiator, ia tak menyangka dari orang kasar seperti Liberius bisa keluar nasehat seperti itu.
Tiba-tiba ia terhenyak ketika tangan pria itu meraih pantatnya dan menariknya mendekat, wajah sangar gladiator itu kini tidak sampai sejengkal dengan vaginanya, hembusan nafasnya terasa betul. Marcia terdiam mematung, ia memang sudah siap untuk momen ini, pandangan mereka bertemu ketika Liberius menengadah melihat reaksi wajahnya. Ia pasrah saja dan saat gladiator itu mendekatkan wajahnya dan mencium wilayah kewanitaannya tersebut.

“Eeemmmhhh” lenguh gadis itu dengan mata terpejam.
Tubuh Marcia pun semakin bergetar, ia merapatkan selangkangannya ke bibir Liberius sambil meremas rambut pirang panjang pria itu. Lidah Liberius semakin liar mengais-ngais liang kenikmatannya. Marcia merasakan vaginanya semakin membasah seiring dengan rangsangan yang semakin kuat dan tanpa sadar ia pun mulai menggoyangkan pinggulnya supaya Liberius lebih leluasa menciumi kemaluannya. Gladiator itu menghisap klitorisnya kuat-kuat serta ujung lidahnya dengan lincah menggelitik titik sensitif itu. Jari-jari tangannya yang besar ikutan mengocok liang kenikmatan Marcia diselingi permainan lidah di klitorisnya. Marcia makin menjerit nikmat, ia benar benar dibuatnya kelojotan karena permainan tangan dan oralnya, nikmat sekali.
“Yahhh…masukin sekarang, aku sudah tidak tahan!” desahnya memohon.
Namun Liberius tidak menggubrisnya, ia masih menikmati menjilati vagina gadis budak itu, ia hanya menyeringai mesum melihat wajah Marcia yang telah memerah akibat birahi tinggi, rambut hitamnya yang terurai membuatnya terkesan semakin seksi saja.
“Berbaliklah manis!” perintah Liberius.
Marcia membalikkan tubuhnya dengan posisi menungging, tangannya bertumpu pada bibir bak. Ia berharap pria itu segera melakukannya dengan posisi doggie, tapi malah kembali tangan dan lidahnya yang menyentuh organ kenikmatannya, gadis itu pun makin menceracau ketika lidah kasap Liberius menyentuh anusnya
“Kumohon tuan…setubuhi aku!” desah Marcia tak tahan menghadapi pemanasan Liberius yang gemilang, nafasnya sudah tersengal-sengal menahan gejolak birahi.
“Hehehe…baiklah kalau kau sudah tak sabar manis!” Liberius bangkit hingga air hanya merendam lututnya ke atas sedikit, penisnya sudah ereksi penuh dan siap untuk mengeksekusi gadis itu, jantung Marcia pun makin berdebar-debar menyaksikan penis yang besar dan gagah itu, horny sekaligus ada rasa takut vaginanya dibobol benda sebesar itu.
Tangannya mencengkram erat bibir bak saat merasakan kepala penis Liberius mulai mengusap bibir vaginanya
“Aakkkhhh….aaaww.. ” teriak Marcia kaget ketika tanpa aba aba sang gladiator mendorong masuk penisnya dengan keras dan sekali dorong, meskipun vaginanya sudah basah kuyup akibat dijilati tadi, namun ukuran penis itu yang besar dan sodokan kencangnya membuat gadis itu kaget, sakit bercampur nikmat, semua beraduk menjadi satu.
Wajah seram Liberius tersenyum penuh kemenangan melihat gadis itu menggeliat karena sodokannya. Kini tangan pria itu mulai bergerilya merambahi lekuk-lekuk tubuh Marcia yang indah, tangan itu merayap ke bawah dan meraih payudaranya. Dengan perkasanya gladiator itu memompa tubuh Marcia yang tak berdaya menungging tersebut. Liberius mempercepat sodokan-sodokan penisnya seolah ingin menghajar habis vagina Marcia merintih-rintih sampai keluar air mata, nafas pria itu memburu tak karuan seperti kerbau liar.

“Luar biasa…vaginamu benar-bener sempit dan nikmat sekali…aahhh” kata Liberius sambil terus memompa tubuh gadis budak itu tanpa ampun.
Tangan besar Liberius melingkupi seluruh payudara Marcia dan meremas-remasnya dengan gemas. Pinggulnya terus maju mundur untuk melesakkan penisnya berulang kali melewati bibir kecil vagina Marcia yang sudah merah basah itu. Dengan gerakan memutar membuat pinggul gadis Asiria ini ikut bergerak seirama dengan gerakan penisnya. Marcia sepertinya berusaha menikmatinya walaupun rasa sakit itu masih terasa di selangkangannya.
“Akhh..akhh…akhhh…” desah Marcia ketika sodokan batang penis Liberius menjarah vaginanya dengan cepat dan penuh tenaga.
Tubuhnya berguncang hebat dan payudaranya-pun menjadi seperti terombang-ambing karena berguncang. Dia tidak lagi menghiraukan rasa sakit di selangkangannya dan jika tadi desahan dan rintihannya berupa rasa sakit sekarang berubah menjadi rasa nikmat.
“Akhhh…terus tuan…enak….yah terus!” Marcia berubah menjadi liar.
Lalu dalam menit berikutnya Liberius pun mempercepat genjotannya dan memeluk Marcia dari belakang sambil meremas payudaranya yang menggantung bebas itu dengan mesra lalu menusukkan sebuah tusukan tunggal namun dalam.
“Aku juga keluar….ooohhh” erang Marcia setelah tahu Liberius mencapai puncak kenikmatan.
Crettt…crettt…crett…entah berapa kali penis sang gladiator menyemburkan sperma di dalam vagina sang gadis hingga bercampur dengan cairan orgasme gadis Asiria itu. Liberius merasakan hangat pada penisnya dan seperti dicengkeram erat oleh vagina Marcia. Gadis itu lalu ambruk dalam posisi masih tengkurap, kepalanya bersandar lemar pada bibir bak, sementara Liberius menindihnya sebentar sebelum bangkit dan mencabut penisnya dari dalam vagina gadis itu. Saat penisnya tercabut nampak lelehan cairan putih susu membasahi selangkangan Marcia.
“Gadis pintar…ternyata kamu berpengalaman juga ya hahaha” puji Liberius sambil membelai dada Marcia.
Gadis itu tersenyum simpul, “tuan juga…nama besar tuan sebagai juara memang bukan omong kosong…orgasme tadi sungguh dahsyat dan aku baru pernah merasakan penis raksasa seperti milik anda ini hihi..”
“Oooh…jadi kamu suka dengan punyaku?” goda Liberius sambil menggerakkan penisnya membelai belai pantat Marcia.
Marcia mengangguk, “punya anda luar biasa, besar, panjang, dan juga keras” jawabnya jujur dan memang sebelumnya ia hanya penasaran dan hanya bisa membayangkannya, tapi ternyata memang luar biasa. Liberius kembali bersandar pada dinding bak, lalu meminta Marcia duduk di pangkuannya. Gadis itu menurut saja, ia merasa tubuhnya kecil sekali dalam dekapan tubuh raksasa sang gladiator. Mereka ngobrol ringan, lalu tak lama kemudian Liberius meraih dagu Marcia, dipandanginya wajah cantik khas timur tengah itu dan diciumnya bibirnya dengan hangat. Marcia pun mengimbangi ciumannya, lidah mereka saling beradu dengan penuh gairah. Tangan Liberius mulai bergerak menelusuri antara dada dan paha Marcia. Di tengah perciumbuan, Marcia merasakan bahwa sesuatu yang ia duduki terasa mulai agak mengeras. Ia melihat ke bawah air sana melihat penis Liberius sudah setengah ereksi lagi. Ia meraih kepala penisnya dan jemari lentiknya mulai membelai batangan itu. Sebelum penuh ereksinya tiba-tiba Marcia masuk ke dalam air dan menangkap penis itu dengan mulutnya, Di dalam air ia memainkan kulup penis itu dengan lidahnya dan mengulumnya dengan mahir.

“Ouuhh….yahh…” Liberius menggeliat dan berdesis menahan kenikmatan oral seks yang diberikan Marcia di dalam air dingin, penisnya pun makin mengeras.
Sudah hampir lima menit Marcia bertahan melakukan oral seks di dalam air, sementara Liberius makin tak tahan menerima pelayanan mulut gadis itu. Maka ia pun menarik kepala gadis itu. Marcia timbul dengan tersenyum nakal, wajah dan rambutnya telah basah membuatnya nampak semakin menggairahkan.
“Anda suka barusan itu?” tanyanya
Liberius mengangguk, “Ya, suka sekali tapi jangan terlalu lama nanti keluar duluan”
“Ya benar, jangan cepat-cepat keluar, aku masih menginginkannya” Marcia berkata dengan suara lirih yang menggoda sambil naik ke pangkuan pria itu.
Marcia meraih penis raksasa Liberius dan mengarahkannya ke arah vaginanya. Mata sang gladiator melihat tangan gadis itu menggenggam penis besarnya untuk diselipkan di antara bibir kemaluannya.
“Oouuccchhh….!!” lenguh Marcia saat kepala penis itu membelah bibir vaginanya, ia memejamkan mata dan menahan nafas untuk menikmatinya.
Dan dilepasnya dari pegangan saat kepala penis itu mulai menyelinap di antara bibir kemaluannya dan melesak ke dalam vaginanya seiring tubuhnya yang terus turun hingga ia berdebar nikmat. Liberius mencium bibirnya lembut. kali ini Marcia lebih dapat menikmati proses penetrasi. Penis raksasa itu masuk makin ke dalam hingga terasa sekali kepalanya menekan dinding vagina Marcia. Setelah merasa posisinya pas, Marcia mulai menggoyangkan tubuhnya perlahan. Bibir Liberius merambat turun dari bibir gadis itu ke payudaranya, mulutnya yang besar seolah hendak menelan seluruh bongkahan payudara kiri gadis itu. Ia mengenyot-ngenyot bongkahan kenyal itu dengan rakus, dijilat dan dihisap-hisap sampai meninggalkan bekas merah di kulitnya yang putih. tangannya kembali meremas bongkahan kenyal itu. Mereka mulai bersetubuh dalam posisi berpangkuan. Kali ini Marcia lebih aktif dan lebih menikmati seluruh rangsangan yang menjalari tubuhnya. Ia menaik-turunkan tubuhnya dengan sepenuh perasaan, lembut tapi kadang menyentak. Sementara tangan Liberius terus menelusuri permukaan tubuh gadis itu, bibirnya menjelajah leher, pundak, dada dan bibirnya.
“Ooohhh…enak sekali penismu, besar dan panjang, ohhh…aku ingin terus disetubuhi!!” rintih Marcia.
“Hhhmmm…oohh…vaginamu juga enak, terus goyang manis puaskan dirimu, uuuhh…,” desah Liberius yang sibuk menghisap kedua payudara gadis itu silih berganti sementara tangannya tetap aktif dengan meremas-remas pinggul dan membelai punggungnya.
Mata Marcia membeliak-beliak, kepalanya mendongak dan mulutnya setengah terbuka dan mengeluarkan rintihan serta lenguhan menikmati penis gladiator itu merojok-rojok vaginanya. Ia merasakan lubang vaginanya pehun sesak dengan jejalan batang raksasa itu, sehingga gesekan-gesekan penis Liberius terasa betul oleh dinding vaginanya, ia juga merasakan klitorisnya tergesek-gesek oleh batang tersebut.

“Tuan, aku mau keluar, aku sudah tidak tahan lagi, ooohhh..penismu…hisapanmu…,” Marcia mengerang.
Gerakan naik turun Marcia semakin cepat tapi tidak beraturan, tubuhnya mulai mengejang dan mengejut-ngejut, air di sekeliling mereka juga semakin berkecipak. Liberius yang mengetahui gadis itu sudah di ambang orgasme lagi, segera menambah ritme remasan tangannya di kedua payudaranya, dan mulutnya menambah daya hisapannya menjadi lebih lama dan berulang-ulang, payudara itu seperti mau ditelan saja olehnya. Tidak sampai lima menit, Marcia pun melenguh panjang saat puncak kenikmatannya berhasil ia rengkuh untuk yang kedua kalinya, ia menekan pantatnya ke bawah kuat-kuat. Sssrrrrr….sssrrrr…vaginanya menyemburkan cairan orgasme menghangatkan penis Liberius. Tubuh Marcia terlihat bergetar dengan hebat, pantatnya mengejut-ngejut, sampai akhirnya tubuhnya ambruk di dada bidang Liberius, vaginanya berkedut-kedut, di mulutnya tersungging senyum kepuasan. Gladiator itu kemudian menambah sensasi nikmatnya dengan mengecup lembut bibir gadis budak itu berkali-kali, tangannya meremas-remas lembut pantatnya dan membelai punggungnya. Marcia sungguh tidak menyesal bercinta dengan sang juara, pria itu memang benar-benar perkasa, bukan cuma di arena tapi juga dalam bercinta. Lamunan gadis itu lepas saat Liberius memagut bibirnya dan mulai mengajaknya beradu lidah lagi, lidah besar pria itu menyapu-nyapu langit-langit mulutnya, lengannya yang kokoh memeluk erat tubuhnya. Lama kelamaan tubuh Marcia yang semula lemas, mulai terbakar lagi. Ia berusaha menggeliat, tapi tubuhnya dipeluk erat, pria itu makin meningkatkan cumbuannya lalu kemudian bangkit berdiri mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di bibir bak. Penisnya yang masih menancap segera ia maju-mundurkan pada liang vagina gadis itu. Kembali Marcia diombang-ambingkan di tengah lautan birahi. Pria itu memagut lehernya sambil menekan masuk seluruh batang penisnya
“Oh…benar-benar keras, masuknya dalam sekali, sungguh juara sejati dia” ceracau gadis itu dalam hatinya merasakan penis Liberius melesak hingga mentok ke dinding vaginanya.
Liberius menggerakkan penisnya seperti gerakan mengaduk untuk meningkatkan rangsangan pada klitoris gadis itu. Kali ini dalam waktu relatif cepat, Marcia kembali diterpa gelombang orgasme. Ia meronta dan mengerang.
“Ooohhh…oohhh…sebentar lagi manis….sssshhh!!” Liberius melenguh bagai kerbau liar saat merasa penisnya akan segera menyemprotkan isinya.

Gladiator itu semakin mempercepat kocokan penisnya di liang kenikmatan Marcia, gerakan keluar masuknya sekarang lebih leluasa karena lubang vagina gadis itu sudah basah oleh cairan kenikmatannya yang membanjir, bunyi kecipak alat kelamin mereka bertumbukan semakin menambah sensasi kenikmatan. Akhirnya dengan sekali hentakan yang kuat Liberius membenamkan penisnya dalam-dalam.

“Aaaaaahhhhhh!!” erangnya keras sampai dua orang prajurit penjaga ludus Ampilatus yang berjaga tidak jauh dari situ dapat mendengarnya sayup-sayup.
“Sang juara sedang menikmati hadiahnya” kata si prajurit pertama pada rekannya yang lebih junior dan baru bertugas dua minggu di ludus.
“Sepertinya hadiahnya cukup istimewa” balas rekannya tersenyum, mereka lalu meneruskan tugas berjaganya.
Marcia berkelojotan mendapatkan serangan seperti ini, sensasi nikmat yang ia rasakan saat ini belum pernah ia alami sebelumnya. Sesaat Liberius menurunkan frekuensinya dan menurunkan tubuh gadis itu sehingga mereka kembali berendam di bak. Nafas keduanya terdengar memburu, mereka saling berpagutan meresapi sisa-sisa kenikmatan yang barusan saja mereka rengkuh. Penis raksasa Liberius yang masih tertanam di dalam lubang vagina Marcia perlahan-lahan mulai lemas, Marcia yang tadinya merasakan lubang vaginanya begitu sesak oleh jejalan penis itu mulai merasakan kekosongan akibat mengecilnya benda itu. Selang beberapa saat, pagutan penuh nafsu mereka berganti menjadi kecupan-kecupan ringan, senyum lemas tersungging di mulut mereka.
“Luar biasa…aku betul-betul puas, tapi sungguh aku sudah tidak kuat lagi,” Marcia berkata dengan genit.
Liberius memeluk tubuh gadis budak itu dan membelai punggungnya lembut.
“Ini hanya hubungan badan, jangan pernah mencintaiku ataupun orang sepertiku” katanya pelan dekat telinga gadis itu.
Marcia diam tidak berkata-kata, selain merasa puas secara seksual entah mengapa ia juga mulai merasakan kehangatan bersama pria ini, walau tampangnya seram namun ia dapat berkata lembut dan bersifat kebapakan.

############################
Keesokan harinya

Dalam gelap malam Liberius berjalan di belakang mengikuti Ampilatus menyusuri jalan-jalan kota Pompeii yang mulai lenggang. Sesekali terdengar seruan peringatan dari penjaga malam yang berkeliling agar hati-hati dengan api, karena di musim panas dan kering seperti ini, kecerobohan kecil dapat menyebabkan kebakaran dan api dengan mudah dapat menjalar ke perumahan yang letaknya berhimpit-himpitan itu. Ampilatus memang tidak memberi tahu apa tujuan undangan kali ini, namun Liberius dapat mengira-ngiranya. Ini bukanlah pertama atau kedua kali dirinya diundang secara khusus ke kediaman pejabat atau bangsawan Roma, biasanya mereka membutuhkan gladiator untuk meramaikan pesta-pesta di kediaman mereka untuk pertunjukan duel tertutup sebagai bumbu dari pesta, tidak jarang dirinya menjadi pemuas wanita dalam pesta-pesta liar yang menjadi gaya hidup para kalangan atas saat itu. Ia bahkan pernah dipanggil untuk melayani para nyonya-nyonya pejabat dan bangsawan yang tidak ragu membayar mahal untuk memenuhi dahaga seksual mereka. Dia meragukan bahwa ia sedang dipanggil untuk tujuan baik. Tak ada yang tidak kenal dengan senator satu ini, ia memegang pengaruh yang cukup besar di republik, sebelum menjadi senator dulu, ia dikenal sebagai seorang jenderal yang brilian. Liberius telah mendengar nama besarnya sebagai salah satu jenderal Romawi yang pernah menyerang negerinya. Ia juga dikenal memiliki seorang istri yang cantik bernama Aurelia, yang berasal dari garis keturunan keluarga terhormat di republik. Liberius pernah melihatnya beberapa kali wanita itu duduk di samping belakang suaminya ketika menonton pertandingan, dan ia pun harus mengaku pesona wanita itu sungguh membuatnya terpukau. Senator Gaius memang tampak sebagai lelaki sempurna, ia memiliki istri cantik, dua anak perempuan yang mewarisi kecantikan ibu mereka, dan karir cemerlang. Ia juga tidak pernah mengambil istri lain atau selir yang sebenarnya sah-sah saja pada masa itu, selain itu ia pun tidak pernah terlihat dalam pesta-pesta liar kalangan atas Roma yang penuh kegilaan. Ketika mereka sampai di sebuah vila mewah yang merupakan rumah dinas pejabat, penjaga mengantar mereka ke pintu samping. Seorang pria berpostur pendek berusia sekitar empat puluhan menyambut mereka. Pria ini bernama Zacharias bin Memnon, sekretaris pribadi sang senator. Walau sudah berpenampilan seperti orang Romawi dan berbahasa Latin dengan fasih, nama dan hidungnya yang agak bengkok tidak bisa menyembunyikan darah Yahudinya. Senyuman dan garis-garis wajahnya memperlihatkan sifatnya yang licik dan tidak bisa dipercaya, janggut merahnya yang pendek dan suaranya yang berat membuatnya kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya.
“Saudara Ampilatus…selamat malam, mari kita ke ruanganku dulu sambil menunggu dominus bersiap-siap” sapanya seraya merangkul Ampilatus, “dan kau sang juara, kedatanganmu sudah ditunggu, mari!” ia menepuk lengan berotot Liberius dan menengadah untuk menatap wajahnya, lalu membawa mereka ke ruangannya.
Mereka pun sampai ke ruangan Zacharias yang telah diterangi oleh pelita berukiran indah, gulungan perkamen dan dokumen memenuhi meja dan raknya. Ia menutup pintu dan berpesan pada penjaga agar jangan sembarangan membiarkan orang masuk. Setelah ngobrol basa-basi sejenak dengan Ampilatus dan Liberius, Zacharias mulai memperlihatkan mimik serius dan mulai masuk ke pokok pembicaraan
“Baiklah juara…” demikian pria Yahudi itu memanggil Liberius, “sebelum bertemu dominus-ku, agaknya aku sebagai perpanjangan lidah dan tangannya perlu menjelaskan terus terang tentang pertemuan malam ini”

Liberius mengangguk setuju, demikian pula Ampilatus berdiri dalam bayang-bayang dan mengangguk setuju .
“Dominus membutuhkan bantuanmu, seorang pria yang kuat secara fisik serta mempunyai gen prajurit sejati…” kata Zacharias sambil berjalan mengitari tubuh raksasa gladiator itu, “ia selalu ingin seorang anak laki-laki sebagai pewaris, namun seperti yang kalian tahu, ia hanya memiliki dua anak perempuan, cantik dan sehat memang…tapi ia belum merasa cukup tanpa anak laki-laki. Ia pernah punya seorang anak laki-laki namun anak itu meninggal ketika masih bayi” Zacharias menghela nafas, baik Liberius dan Ampilatus terus menyimak penuturan si Yahudi itu, “…masih dalam suasana duka, bencana berikutnya menyusul ketika dua tahun yang lalu dalam pertempuran melawan bajak laut di perairan Sisilia.”
“Apa yang terjadi?” Liberius penasaran bertanya.
“Ia terluka cukup parah, selangkangannya terpukul waktu menyelamatkan prajuritnya. Memang selamat dan seperti yang kalian lihat ia masih dapat berdiri dan berjalan tegak, namun….” Zacharias menelan ludah sejenak, “sejak itu ia mengalami masalah dalam berhubungan badan, padahal keinginannya memiliki anak laki-laki belum juga kesampaian”
Liberius mulai mengerti tujuan mereka memanggilnya, “Saya mengerti, jadi senator ingin…”
“Meminjam bibitmu!” kata Zacharias sebelum Liberius selesai, “kau akan melayani domina dan membuatnya melahirkan anak laki-laki, dominus melihat anda adalah pilihan yang paling tepat di antara gladiator lainnya, dan ia juga berkata para dewa telah merestuinya lewat mimpi bahwa kelak anak itu akan menjadi orang besar!”
“Tapi apakah domina…?” tanya Liberius.
“Domina juga telah setuju, tapi rahasia ini harus terjaga, kalau suatu hari nanti ada isu-isu tidak sedap, nyawa anda, juara, juga orang lain yang terlibat termasuk diriku, akan terancam, kamu mengerti itu, juara?” Zacharias menengadah menatap dalam-dalam mata Liberius untuk meyakinkan bahwa ia sangat serius.
Liberius mengangguk menyanggupinya, saat itu pintu diketuk dan Zacharias membukakan pintu. Seorang prajurit melaporkan sesuatu padanya. Zacharias mengangguk, setelah prajurit itu pergi ia berbalik lagi ke arah mereka.
“Baiklah tuan-tuan, makan malam telah siap dan dominus telah menunggu anda di ruang makan, mari!” katanya dengan tersenyum.
Seorang pria tampan berumur tiga puluhan lebih memakai tunik putih yang dibordir dengan indah menyambut mereka di ruang makan. Dia tidak lain adalah Senator Gaius, sang tuan rumah yang mengundang mereka malam ini.
“Ah…ini dia sang juara, Liberius, sungguh kehormatan bagiku dapat bertatap muka dengan anda secara langsung malam ini!”
“Demikian juga bagiku senator” balas Liberius sambil membungkuk memberi hormat.
Di ruangan yang telah tertata apik itu telah tersedia berbagai jenis makanan dan minuman yang mengundang selera. Sang senator mempersilakan mereka menikmati jamuan yang telah ia persiapkan itu. Mereka pun makan sambil mengobrol, Ampilatus terlihat akrab dengan Gaius karena memang mereka sudah sering bertemu sebelumnya. Gaius hanya beberapa meter dari Liberius, tangannya memegang cawan berisi anggur kualitas terbaik
“Mari Liberius, saya bersulang untuk kemenanganmu kemarin!” sahutnya sambil mengangkat cawan itu pada sang gladiator.
Liberius meletakkan paha babi yang sedang disantapnya dan meraih cawan di mejanya menyambut sang senator.
“Terima kasih senator!” jawabnya singkat.

“Hahaha….saya mengundang anda malam ini memang ada tujuan khusus, saya perlu bantuan…bantuan yang hanya dapat dilakukan oleh anda” ia meneguk anggurnya sejenak sebelum melanjutkan, “ya…saya telah memperhatikan banyak orang di republik ini dan pilihan itu jatuh pada anda, yang saya rasa paling tepat untuk itu”
Sang senator menghampiri Liberius dan memintanya untuk berdiri. Gladiator itu menegakkan badannya, sang senator memandanginya dari atas ke bawah seolah-olah sedang memilah-milah budak yang dijual di pasar.
“Penampilan fisik yang sempurna, perkasa bak Hercules…saya rasa Zacharias telah menjelaskan semuanya kan?” kata Gaius melirik sejenak pada sekretarisnya yang lalu mengangguk padanya, “untuk jasamu dan bila hasilnya sesuai harapan, saya bersedia membayar berapapun termasuk yang selalu anda mau….kebebasan, ya kan?”
Liberius terhenyak, inilah yang selama ini ia tunggu, hanya dengan memberikan bibitnya ia dapat memperoleh kebebasan itu, namun apakah semudah itu? hanya meminjamkan bibit? Apakah tidak ada risiko dengan harga semahal itu?
“Domina sendiri? Apakah dia setuju?” Liberius bertanya untuk lebih meyakinkan
“Hahaha…” Gaius tertawa sambil menepuk-nepuk lengan kekar Liberius, “kami sudah membicarakan hal ini dari awal, demi tujuan itu, istriku pun sudah siap, anda tidak perlu khawatir, hanya perlu menjalankan tugas anda”

————————-
Setelah jamuan makan malam, Liberius diantar ke sebuah ruangan, pengawal membukakan gerbang ruangan itu dan kemudian dia ditinggalkan sendirian di dalam. Liberius terperangah melihat kemewahan ruangan itu, lantainya berlapis marmer putih berkualitas, patung-patung gaya Yunani menghiasi sudut-sudut ruangan, udara dipenuhi beraroma bunga dan rempah-rempah yang membangkitkan gairah, cahaya lembut dari pelita menerangi ruangan itu.
“Anda pasti Liberius sang juara!” kata sebuah suara wanita dari balik kelambu ungu yang menutupi sebuah ranjang di tengah ruangan
“Hormat saya domina!” Liberius memberi salam sambil sedikit menunduk
“Tidak perlu seformal itu, kemarilah!” panggil suara lembut itu.
Dengan berdebar-debar, gladiator itu melangkahkan kakinya ke sana, begitu menyibakkan kelambu, ia langsung terpana oleh pesona kecantikan wanita itu, wanita yang sering dilihatnya dari kejauhan yang biasa duduk di sebelah suaminya ketika menontonnya bertanding di arena. Kecantikannya bak Venus, dengan rambut coklat dan mata gelap, ‘dewi yang turun ke dunia’ itu yang duduk di tepi ranjang di hadapannya. Aurelia telah berdandan begitu cantik malam itu, gaun terusan berwarna merah yang indah menutupi tubuhnya, gelang emas berukir yang indah menghiasi kedua lengannya, sepasang payudaranya yang montok dan padat terlihat menggoda di balik belahan dadanya yang rendah, juga pahanya yang jenjang dan mulus itu di antara belahan roknya. Pemandangan itu membuat penis Liberius berdiri tegak dan terasa sempit karena tertahan oleh cawatnya.
“Kita bukan pertama kalinya bertemu bukan?” Aurelia berdiri dan menyambut sang gladiator.
“Ya, saya sering melihat anda di podium”
“Hanya saja tidak sedekat sekarang ini” kata wanita itu memberikan senyumnya yang sangat menawan.
“Di sini kita sebagai pria dan wanita, jadi anda santai saja” katanya sambil berjalan ke meja dekat situ lalu meraih poci perak berisi anggur. Dia menghela napas dan menuangkan anggur ke dalam dua cawan indah yang harganya jauh melebihi melebihi pendapatannya bertaruh nyawa di arena selama sebulan.
“Minumlah ini dan menenangkan saraf anda!” seraya menyodorkan cawan yang satu pada Liberius, “tidak perlu menjadi takut padaku. Nasib kita telah diputuskan sehingga kita bertemu di ruangan ini. Anda jalankan tugas anda, dan sesuai perjanjian kebebasan itu akan menjadi milik anda.”
Liberius meneguk anggurnya setelah menyambut toast wanita itu, anggur bagus, aromanya harum, manisnya pas dan kehangatannya mengalir cepat dalam darah. Tiga kali mereka bersulang dan meneguk minuman itu. Liberius mulai merasakan pengaruh anggur itu, ia melihat pipi Aurelia memerah. Wanita itu terlihat semakin cantik, dia mengamati lebih jelas lekuk-lekuk tubuhnya, belahan dadanya yang menggiurkan, dan bentuk tubuhnya yang masih langsing walaupun pernah melahirkan, kulitnya yang mulus tampak terlalu halus untuk merasakan tangannya yang kasar.

“Domina…anda…anda cantik sekali malam ini” gladiator mengucapkan setengah dari kegugupannya, anggur membuatnya mampu secara bebas mengutarakan perasaan hatinya terus terang.
Seorang petarung perkasa di arena seperti dirinya sekalipun dapat merasa gugup dan canggung bila berhadapan dengan wanita yang membuatnya terpesona.
“Ssshhh….suamiku sedang menonton, aku bisa merasakan matanya padaku” bisik Aurelia sambil menempelkan jarinya ke mulut Liberius, “jangan berkata sembarangan, ia pencemburu, lakukan saja yang harus kita lakukan” sambil menarik lengan kekar itu dan mengajaknya duduk di tepi ranjang.
Liberius mengangguk dan mengamati wajah cantik itu, matanya yang lembut sangat keibuan tapi dia bisa merasakan pergumulan emosi dalam tatapan mata.
“Apakah dominus, benar tidak pernah menyentuh anda lagi?” Aurelia menangguk pelan.
“Ceritakan sekilas mengenai dirimu, bagaimana kau bisa sampai ke negeri ini? apakah masih punya keluarga?”
“Aku dulu adalah perwira suku Celtic di Kepulauan Britania, semuanya begitu bahagia, aku punya seorang istri dan seorang anak laki-laki sampai tujuh tahun lalu, kami berperang dengan suku musuh kami. Mereka berhasil menjebak kami dengan menyerang garis belakang, yaitu desa kami, hampir semua penduduk termasuk anak dan istriku terbantai oleh mereka. Saat itu lah Roma melihat peluang, ketika kami dan musuh kami sudah lelah berperang, mereka menyerang keduanya dan berhasil merebut dua wilayah sekaligus, semua yang menyerah dan masih hidup dijual sebagai budak”
Aurelia menghela nafas dan merapatkan duduknya ke arah gladiator itu hingga bisa merasakan dan keperkasaan tubuhnya.
“Sepertinya kita berdua memang punya kisah sedih masing-masing.” katanya lirih.
“Yang selanjutnya terjadi aku pun bingung, entah harus kusyukuri atau merupakan kutukan bagiku, orang-orang Romawi memaksaku bertarung di arena, aku bertemu dengan kepala suku musuh yang telah membantai desa kami dan di sana aku memenggal kepalanya” Liberius melanjutkan ceritanya, “juga para bawahannya, semua kuhabisi dengan tanganku, ketika kuangkat tinggi-tinggi potongan kepala mereka aku merasa sangat puas….puas karena membalaskan semua dendamku, namun setelahnya aku merasa kosong…aku sudah mencapai tujuanku membalaskan dendam keluargaku, lalu apa? sejak itu aku hanya hidup untuk bertarung hingga sekarang”
Aurelia meraih telapak tangan Liberius dan menggenggamnya erat, “maaf aku mengingatkan pada kenangan buruk” katanya
“Tidak apa domina, ini sudah takdirku” jawab Liberius melingkarkan tangannya pada bahu wanita itu lalu perlahan bergerak ke bawah dan singgah pada buah dada wanita itu.
Aurelia tak menyingkirkan tangan besar Liberius dari dadanya, dia hanya menatap jari-jarinya yang mulai bergerak di dadanya dan kemudian memandangi wajah sang gladiator.
“Anda sudah siap juara?” tanyanya
“Ya domina, saya siap melayani anda malam ini!” tangan Liberius yang satunya mulai bergerak melepaskan tali pundak yang menyangga gaun Aurelia.

Segera saja dia menyibak gaun itu hingga payudara indah istri senator ini terpampang jelas tanpa penghalang. Kedua telapak tangannya bergerak ke buah dada wanita itu dan meremasnya dengan lembut hingga membuat putingnya mencuat menusuk lembut telapak tangannya. Matanya menatap wajah cantik itu yang mulai memerah karena terangsang, makin lama makin mendekatinya. Aurelia mendekatkan bibirnya tanpa diminta, tangannya meraih leher pria itu sehingga bibir mereka pun menempel dan segera terlibat percumbuan panas. Wanita itu membuka mulut untuk menyambut lidah kasap sang gladiator yang sudah menjilat-jilat bibirnya. Mereka berpelukan erat, bercumbu dan beradu lidah. Sudah lama sejak suaminya terluka dalam perang ia tidak merasakan kenikmatan seksual. Liberius bisa mendengar lenguhan lirih wanita itu saat dia menciumnya. Ia sadar kalau wanita ini tak akan pasrah diapakan saja malam ini. Sementara bagi Aurelia yang haus akan sentuhan pria dikala gairahnya tengah menyala-nyala bagaikan menemukan air di padang gurun. Gairahnya makin meninggi ketika ia merasakan kedua tangan pria itu terus memainkan kedua daging kenyal tersebut sambil menelusuri perutnya yang rata hingga menuju ke bawah sambil memeloroti gaunnya yang masih menyangkut di tubuh. Di lain pihak, pikiran Aurelia juga bergumul. Orang ini bukan suaminya, bagaimana mungkin dirinya sebagai seorang wanita terhormat harus melakukan seperti ini? Apakah pantas melakukan semua ini hanya demi ambisi memperoleh anak laki-laki? Dia memejamkan mata mencoba untuk melawan kehangatan yang menyebar melalui kulitnya. Darahnya berdesir saat merasakan pria itu memeloroti gaunnya yang sudah setengah terbuka. Ia menyaksikan mata jalang pria itu memandangi tubuh polosnya yang tinggal ditutupi celana dalam saja. Anggur yang tadi diminumnya membuatnya ingin terus merasakan kenikmatan terlarang itu.
“Domina, anda benar-benar cantik. Seandainya anda bukan istri senator dan saya bukan gladiator….” kata Liberius dengan penuh kekaguman pada wanita ini.
“Jangan teruskan…” Aurelia menempelkan dua jari ke bibir pria itu, “kumohon…lakukan saja yang harus kita lakukan”
Liberius pun menurunkan kepala dan mulai menyusu payudaranya, tangannya meremas pinggulnya yang montok.
“Aaahhh…” desah Aurelia, tubuhnya menggeliat dengan tangan memeluk kepala pria itu ke dadanya.
Liberius sedang mengisap puting wanita itu, lidahnya menyapu-nyapu putingnya hingga makin mengeras.
Aurelia pasrah menikmati apa yang dilakukan gladiator ini terhadap tubuhnya. Dia sama sekali tidak berusaha untuk mencegahnya. Dalam benaknya sama sekali tak pernah terlintas melakukan perbuatan seperti ini sampai malam ini dan suaminya sedang mengintipnya. Vaginanya sudah terasa sangat basah oleh gairah. Tangan kiri Liberius bergerak turun ke bawah dan menelusuri kulit perut wanita itu dan menyusup masuk ke celana dalamnya hingga menyentuh vaginanya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat. Kedua paha Aurelia masih merapat erat menahan gerakan jemari Liberius. Sementara jemari sang gladiator terus menggerayangi perut bagian bawahnya disertai lidahnya yang menari dalam mulutnya. Akhirnya kedua paha Aurelia pun melemas dan mulai bergerak membuka. Jari-jari besar Liberius langsung menyeruak masuk ke bibir vaginanya. Begitu merasakan klitorisnya bergesekan dengan jari-jari itu, Aurelia membuka kedua pahanya lebih lebar untuk memberikan ruang seutuhnya pada pria itu untuk berbuat sekehendak hati terhadap daerah paling rahasia dari tubuhnya. Liberius melepaskan simpul di samping celana dalam itu sehingga terlepaslah kain terakhir yang menutupi tubuh wanita itu.

Aurelia merasakan bagian bawahnya semakin basah. Dia sedang berada dalam lingkaran perasaan yang membuatnya tidak peduli lagi kalau suaminya yang sedang mengintip merasa cemburu karena ia begitu menikmati persetubuhan ini. Nafasnya semakin memburu cepat saat dia merasa tubuhnya ditindih, dibelai, dan dijilati gladiator itu. Ciuman bibir Liberius menjalar bebas ke sekujur tubuh sang istri senator. Kedua belah paha Aurelia terpentang lebar saat jemari Liberius bergerak keluar masuk dalam vaginanya. Ia telah berada di perbatasan dari puncak kenikmatannya saat tiba-tiba pria itu menghentikan aksinya. Kedua matanya yang semula terpejam rapat langsung terbuka menatap begitu Liberius berhenti. Pria itu sedang membuka pakaiannya sendiri. Begitu cawatnya dibuka, batang penisnya mengacung dengan tegak dan keras
“Demi Mars….ia seperkasa dewa perang, besar sekali penisnya!” Aurelia terpana melihat penisnya yang besar itu, untuk pertama kalinya ia menyadari perbedaan di antara milik gladiator ini dan suaminya
“Domina, anda yakin para dewa membiarkan ini terjadi?” tanya Liberius
Aurelia terdiam sesaat lalu akhirnya mengangguk.
“Liberius…” dia berbisik lagi saat sang gladiator menempelkan kepala penisnya pada bibir vaginanya, “panggil namaku…Aurelia, aku bukan domina-mu, sudak kubilang disini kita hanya pria dan wanita”
Mata mereka saling tatap, dan tangan Aurelia memeluk erat tubuh besar di atasnya, ia merasakan punggung pria itu yang begitu kokoh. Liberius mulai menekan masuk penisnya perlahan-lahan, matanya menatap lembut lalu berbisik pelan pada wanita itu
“Bukalah untukku Aurelia…aku ingin merasakan vaginamu meremas erat penisku saat kumasuki.” lalu dia kembali melumat bibirnya.
Untuk pertama kalinya Liberius memanggil wanita itu langsung dengan namanya, sesuatu yang menghilangkan kecanggungan akibat perbedaan status di antara mereka. Aurelia menginginkan batang penis gladiator itu memasuki tubuhnya, mengaduk-aduk vaginanya hingga ia menjerit-jerit dalam kenikmatan karena sudah terlalu lama ia tidak menikmati kenikmatan hubungan seksual. Saat ini ada seseorang yang ingin memuaskan dia seperti apa yang pernah dilakukan suaminya dulu, bahkan mungkin lebih dari itu. Aurelia membuka pahanya menyambut penis Liberius. Gladiator itu mendorong pinggulnya ke depan dan batang penisnya yang telah menempel di vagina wanita itu pun dengan sendirinya menemukan jalan masuk.
“Aaaaahhhh…..” Aurelia membelalakkan mata sambil meremas kain seprei ketika penis besar itu menyeruak masuk membelah bibir vaginanya.
Ia pun akhirnya melingkarkan kedua pahanya pada pinggang Liberius dan tumitnya menempel erat pada pantat gladiator itu untuk mendorongnya masuk semakin dalam. Perlahan penis Liberius mulai mengisi vagina Aurelia melebihi apa yang pernah dirasakannya. Setiap kocokannya membawa mereka berdua semakin tinggi dan bertambah tinggi ke puncak kenikmatan. Tak menunggu lebih lama, setelah masuk setengahnya Liberius menyentakkan penis kerasnya seutuhnya hingga ke dasar vagina sang istri senator ini. Ia menghentakkannya agak keras sehingga wanita itu menjerit
“Maaf…sakitkah?” Liberius berhenti sejenak melihat wajah wanita itu meringis sampai matanya berair.
Aurelia menggeleng, “tidak apa….teruskan juara….aku milikmu malam ini” lalu ia memagut bibir pria itu.
Setiap kali gladiator itu menarik keluar batang penisnya, kedua kakinya menahannya seakan ingin segara penis itu melesak ke dalam vaginanya kembali. Sama sekali tak terlintas dibenaknya kalu kini dirinya adalah wanita terhormat yang selama ini memegang teguh nilai-nilai moral. Ia hanya melampiaskan dahaga batinnya dari apa yang sudah lama tak pernah ia dapatkan dari suaminya, juga demi ambisi suaminya mendapatkan keturunan laki-laki.

Keduanya sudah dimabuk birahi dan membiarkan satu sama lain menguasai dirinya. Pelukan di punggung Liberius menjadi rabaan lembut dari Aurelia. Gladiator itu menyadari kalau hal itu mengisayaratkan bahwa wanita itu ingin lebih, dari sekadar penis yang tertanam di vaginanya. Maka ia pun dengan penuh perasaan memompa vagina sang istri senator. Ketika melihat ekspresi meringis pada wajah wanita itu berganti menjadi ekspresi nikmat disertai desahan sensual, Liberius memompa penisnya lebih dalam
“Terus juara…ooohh yang keras, yang dalam, oooohh” erang Aurelia.
Mendapat arahan seperti itu Liberius menaikkan frekuensi genjotannya, kini ia tak lagi hanya memaju mudurkan saja, ia menggunakan kekuatan panggulnya untuk menyodok lebih dalam. Akibatnya badan Aurelia pun ikut berguncang ketika penisnya menghujam vaginanya. Liberius kemudian mengangkangkan kaki wanita itu selebar-lebarnya, ia ingin penisnya benar-benar masuk sedalam-dalamnya, memberi sensasi luar biasa bagi keduanya. Saat Liberius terlihat memburu nafas, Aurelia juga berimprovisasi dengan mengaitkan kakinya di bekalang pantat pria itu. Aurelia terus memancing sang gladiator agar menusuk lebih dalam lagi, dan lebih dalam lagi. Tapi sesaat kemudian, Liberius mengendurkan kaitan kaki Aurelia agar tubuhnya berada pada posisi yang tepat. Ia ingin remasi payudara wanita itu sambil terus memompa. Saat jarinya memainkan puting Aurelia, wanita itu seperti orang kelojotan, mulutnya meracau tak jelas. Ia merasakan kenikmatan tiada tara saat vaginanya dijejali penis besar sang gladiator, putingnya mendapat rangsangan yang hebat. Liberius juga menikmati kepuasan Aurelia, ia terus menghisap puting wanita itu kiri dan kanan bergantian. Tak lama kemudian, Liberius merasakan urat-urat di bagian bawah penisnya memberikan isyarat kenikmatan yang luar biasa. Badannya menegang, rasa panas menjalar di seluruh tubuhnya, ia telah di ambang orgasme.
“Aurelia…aku mau keluar, ahhh….ahh” sahutnya memberi peringatan tanpa menghentikan genjotannya.
“Aaahh…aku juga, tambah keras lagi, tambah kerass…aaahh” jawab Aurelia.
Liberius pun memfokuskan pada sodokannya. Ia benar-benar membenamkan penisnya sedalam-dalamnya. Berat tubuhnya digunakan untuk membantu hal itu. Efeknya, tempat tidur tempat mereka bergumul pun berderit-derit. Tak sampai lima menit, sperma Liberius sudah menggumpal di ujung penisnya dan siap untuk muncrat. Sodokannya makin tak terkendali, yang pasti dalam dan keras hingga akhirnya dengan satu sentakan menyeburlah cairan putih kental itu.
“Oooohhhhhh…….” dahsyat sekali klimaks Liberius, demikian pula dirasakan oleh Aurelia, dinding vaginanya berkedut keras, dan menyusul lenguhan pria itu.
“Aaaaaahhhhhh……” tubuh Aurelia menggelinjang hebat di bawah tindihan tubuh besar Liberius, ia merasakan cairan hangat dan kental memenuhi vaginanya.
Liberius menyosor bibir Aurelia, meski penisnya masih menghentak-hentak vagina wanita itu. Aurelia juga membalas pagutan itu dengan ganas karena ia tak ingin kehilangan kenikmatan orgasmenya. Lebih dari tiga kali, hentakan penis Liberius dan kedutan vagina Aurelia terjadi bersamaan mengantarkan keduanya ke surga dunia.
“Hhhhmm…kau juara bukan hanya di arena!” ujar Aurelia setelah klimaks mereda.
“Anda juga…punyaku seperti diremas-remas, sungguh enak” balas Liberius

Mereka saling peluk dan berpagutan ketika badan mereka kembali mengendur dari ketegangan. Aurelia yang sebelumnya ditindih Liberius, bangkit dan membalik posisinya di atas Liberius.
“Sekarang giliranku juara…” wanita itu tersenyum lemah sambil meraih penis Liberius yang mulai tegang lagi.
Penis tersebut dimasukkan kembali ke dalam vaginanya. Aurelia kini memegang kendali permainan. Goyangannya naik-turun mengurut penis besar tersebut, kadang ia selingi dengan gerakan maju mundur. Gerakan pinggulnya terlihat sangat piawai. Liberius juga disuguhi pemandangan yang sangat sensual, ia bisa melihat bagaimana tubuh wanita itu, payudaranya yang ikut bergoyang-goyang, juga ekspresi wajahnya yang keenakan. Dengan semangat wanita itu menggoyangkan pinggulnya untuk mencapai kepuasan. Sesekali pinggulnya dihentak-hentakkan secara vertikal sehingga beberapa kali penis Liberius nyaris keluar dari sangkar hangatnya itu.
“Oh…luar biasa…aahhh…kau sungguh perkasa…aahhh…aahhh!!” racau Aurelia sembari terus memompa penis Liberius dengan himpitan vaginanya.
Sang gladiator juga melakukan gerakan aktif menusuk ke atas dengan cepat sehingga membuat batang kemaluannya menyentuh dinding rahim Aurelia. Wanita cantik itu pun berteriak dan meciumku bibirnya dalam-dalam.
“Terush…terus tusuk aku…uuuhh” ucapnya meminta lebih dan Liberius menyanggupi dengan melakukan tusukan seperti barusan yang kembali berulang, sambil meremasi payudaranya dan kadang mengenyotnya.
Akhirnya, Aurelia pun mengejang dan otot vaginanya mencengkeram penis pria itu erat-erat. Seiring dengan ciuman bibirnya Liberius tahu kalau wanita itu sedang mengalami orgasme lagi. Aurelia menghentak keras ketika dinding vaginanya terasa menegang. Ia juga merasakan penis sang gladiator berkedut-kedut. Vaginanya pun banjir oleh cairan kenikmatan mereka berdua, ia akhirnya ambruk di atas tubuh kekar Liberius, peluh membasahi tubuh mereka.
Semuanya sudah berakhir dan mereka berdua benar-benar merasa amat kelelahan. Sementara itu, dari tempat persembunyiannya Gaius tersentak. Dia tidak pernah menyangka istrinya yang cantik dan alim itu begitu bergairah bercinta dengan seorang gladiator, lebih bergairah ketika bercinta dengan dirinya dulu. Ini sungguh di luar dugaannya, sang senator sungguh dibakar oleh api cemburu. Diam-diam ia meratapi dirinya sendiri yang telah kehilangan kemampuan bercintanya karena luka dalam pertempuran itu, ia merasa menjadi pecundang di ranjang. Setelah keduanya mencapai orgasme ia tidak tahan lagi, terlebih ketika melihat kemesraan keduanya pasca orgasme. Sang senator pun melabrak masuk mengejutkan kedua orang di atas ranjang itu,
“Cukup sudah sampai sini! Cepat berpakaian dan bangun!” bentaknya sambil melemparkan gaun yang tergeletak di tepi ranjang pada istrinya, “dan kau budak!! Segera keluar dari tempat ini!!” tundingnya dengan wajah merah padam pada Liberius.
Liberius buru-buru turun dan memunguti pakaiannya, lalu memakainya kembali.
“Gaius…!”
“Diam! Kita bicara nanti!” bentak Gaius memotong protes istrinya, ia lalu meraih lengan Liberius yang sudah berpakaian kembali dan menariknya keluar dari kamar.
“Ingat budak…kalau kejadian malam ini sampai tersebar keluar hati-hati dengan nyawamu, mengerti?!” ucapnya dengan pelan namun mengancam, “pengawal antar tamu keluar!” serunya memanggil pengawal.
Dua prajurit datang dan mengantarkan Liberius hingga ke gerbang villa. Dalam perjalanan pulang, hati Liberius dilanda kegalauan, ia berharap bahwa Aurelia akan baik-baik saja setelah malam ini.

########################
Dua bulan kemudian

Hari-hari dengan cepat berlalu, Liberius belum pernah bertemu lagi dengan Aurelia lagi, wanita itu bahkan tidak pernah hadir lagi mendampingi suaminya menonton pertandingan. Ia menduga tentu suaminya yang cemburuan itu melarangnya hadir agar tidak bertemu lagi dengan dirinya, hal itu terlihat dari sorot mata sinis Senator Gaius ketika menontonnya. Hingga suatu malam, atasannya, Ampilatus, mengetuk pintu kamarnya.
“Liberius…ada tamu untukmu” katanya, seseorang berjubah hitam berkerudung mengikutinya di belakang.
Lanista itu mempersilakan sosok berkerudung itu masuk lalu ia menutup kembali pintu kamar.
“Anda…??” tanya gladiator itu.
Sebelum melanjutkan kata-katanya orang tersebut menyingkap kerudungnya. Betapa berdebar jantung gladiator itu melihat wajah di balik kerudung, lututnya seperti lemas seakan hendak jatuh berlutut di depan sosok itu, perasaan yang belum pernah dialaminya bahkan ketika menghadapi lawan yang paling mengerikan sekalipun. Venus yang hidup itu, Aurelia, sang istri senator, wanita yang dirindukannya selama dua bulan ini telah berdiri di hadapannya.
“Domina…anda…apa kabar anda?” sapa Liberius berusaha menyembunyikan kegembiraannya
“Aurelia…kau tidak pernah menjadi budakku, kenapa masih memanggilku seperti itu?” Aurelia berkata agak ketus.
“Maaf….Aurelia, bagaimana anda datang ke sini? Apakah suami anda…”
“Tidak, dia sedang ada tugas di luar kota, aku ke sini atas kemauanku sendiri. Pertama aku ingin berterima kasih padamu?”
“Terima kasih? Untuk apa?”
“Aku hamil…sudah sebulan lebih, pastinya berkat bibitmu karena aku tidak pernah melakukannya lagi dengan siapapun” katanya sambil mengelus perutnya yang belum terlalu kelihatan membesar.
“Ah, selamat! Bukankah itu yang kau dan suamimu inginkan!”
“Lebih tepatnya yang dia inginkan” kata Aurelia dingin.
“Anda jauh-jauh ke sini hanya untuk itu?”
“Tentu tidak, itu tadi terima kasih dari kami suami istri, tapi aku pribadi juga ingin berterima kasih untuk malam yang indah itu” Aurelia meraih simpul tali jubahnya di leher sehingga jubah itu terlepas, di baliknya ia memakai gaun hijau sederhana agar tidak terlalu mencolok selama perjalanan, wajahnya pun nyaris polos tanpa sapuan make up seperti rakyat jelata, namun semua itu tidak mengurangi kecantikannya, “apakah kau tidak merindukan malam itu lagi, juara?”
”Ah, A…Aurelia…apakah harus disini?” kata Liberius bergetar, sama sekali tak menyangka kalau wanita itu akan meminta hal itu lagi.
”Aku tidak tahu setelah ini apakah kita masih bisa bertemu lagi, Gaius sangat protektif, pertengahan tahun depan ia akan menyelesaikan masa dinas di Pompeii dan kami akan pulang ke Roma” ia melepaskan kancing besar di bahu kirinya lalu disusul yang kanan sehingga gaun yang sudah tanpa penahan itu pun jatuh melorot di bawah kakinya, dengan tubuh polos tinggal celana dalam, ia mendekati sang gladiator.
Liberius menelan ludan dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Matanya nanar memandangi tubuh Aurelia yang indah itu, kedua buah dadanya begitu menantang
“Tapi ini….”
“Tapi apa? kenapa kau begitu berbeda di hadapanku dengan di arena? Begitu gugup dan salah tingkah?” Aurelia tersenyum menggoda, ia berhenti sebentar untuk membuka celana dalamnya, kini tidak sehelai benangpun tersisa di tubuh polosnya “dominusmu telah mengatur semuanya, kita punya waktu sampai besok pagi, apakah aku begitu jelek di matamu, sehingga sikapmu begitu canggung?” ia membelai dada bidang pria itu.

Wanita itu sudah berdiri hanya sejengkal di hadapan Liberius, ia dapat merasakan hembusan nafasnya. Perlahan ia memberanikan diri menyentuh wajah cantik itu, mata mereka saling tatap penuh arti. Liberius menatap dalam-dalam mata indah Aurelia, wanita itu terlihat sangat kehausan dan sudah pasrah menerima apa pun perbuatannya.
“Aurelia, bukan jelek, kau justru sangat cantik, hanya saja kita….”
”Moralitas Roma, aturan-aturan protokol…sungguh melelahkan bagiku, aku ingin bebas sejenak walau hanya sekali saja” Aurelia berkata lirih, “lakukanlah…lakukan sesukamu, aku ingin jadi kekasihmu walau hanya malam ini saja”.
Wajah mereka saling mendekat dan sejenak kemudian keduanya sudah berciuman. Liberius melepaskan kerinduannya dengan memagut mulut Aurelia dengan penuh gairah, ia hisap bibir tipis itu sambil sesekali memasukkan lidahnya dan menggigit kecil bibir mungil itu. Mereka berpagutan sambil berpelukan dalam hasrat membara. Liberius membelai punggung wanita itu turun hingga ke pantatnya, tangannya meremas bongkahan yang sekal itu. Ia lalu menggendong tubuh mulus Aurelia dan meletakkannya berbaring di atas dipan tempatnya tidur. Bibir mereka kembali saling melumat dan saling bergerak lincah untuk memberi kenikmatan pada mulut masing-masing. Tangan besar Liberius memberi remasan ringan dengan gerakan memutar lembut yang membuat Aurelia menggelinjang, terutama ketika pria itu memainkan putingnya.
”Terus terang…malam itu aku masih belum puas, aku masih penasaran bercinta denganmu, tolong malam jangan biarkan perasaanku menggantung lagi, setubuhi aku sesukamu, jadikan aku kekasihmu malam ini saja!” kata Aurelia dengan tatapan memelas, dadanya membusung seolah meminta pria itu melumatnya.
Liberius pun bereaksi dengan menunduk dan menyambarnya rakus. Putingnya yang sensitif ia jilati dan kenyot bergantian antara yang kiri dan yang kanan.
“Mmhhh…” Aurelia melenguh, kedua tangannya mencengkeram kepala Liberius meremas-remas rambutnya yang panjang dan kasar.
Setelah bermain cukup lama di payudaranya, tangan besar Liberius mengusap paha dalam Aurelia ke arah liang vaginanya. Ia lantas membelai wilayah kewanitaan itu dengan lembut, ia merasakan bibir vagina wanita itu sudah mulai becek, desah nafasnya juga semakin berat.
“Kau berbaringlah” Aurelia memintanya untuk tidur terlentang, “malam ini aku bukan istri senator, bukan wanita terhormat yang biasa kau lihat seperti sehari-hari tapi seorang wanita jalang yang haus sentuhan pria” katanya dengan nada yang menggoda, “puaskan aku juara, aku tidak akan melupakan malam ini!”
Aurelia menggesekkan buah dadanya ke dada bidang sang gladiator sambil menggenggam penisnya. Setelah sampai di bawah ia segera mengulum penis besar itu. Tak lama kemudian, wanita itu merebahkan tubuhnya di atas sang gladiator, ia arahkan vaginanya tepat di atas wajah pria itu.
“Jilati juara…jilat sepuasmu…aaahhhh!!” sebelum meminta lebih jauh ia sudah merasakan sapuan lidah pria itu pada bibir vaginanya, “yah enak…”
Mereka kini saling oral dengan gaya 69. Aurelia lanjut mengoral penis besar di tangannya, sesekali ia juga mengocok dan memijit buah zakarnya. Liberius merem melek merasakan nikmatnya lidah Aurelia yang bermain-main di sekujur penisnya. Dia pun mengimbanginya dengan menjilati vagina wanita itu. Rambut kemaluannya yang lebat terlihat kontras dengan kulitnya yang putih. Liberius merasakan aroma kewanitaan yang terawat dan sudah becek karena birahi tinggi, nafsunya pun semakin menggelora. Lidahnya terus beraksi menyusup ke dalam menggelitik dinding vagina wanita itu, sesekali ia mengigit lembut bibir vagina dan klitorisnya, demikian pula tangannya tidak tinggal diam. Pantat Aurelia yang sintal itu ia remas-remas, kadang ia tampar pelan, kadang juga ia tekan pantat wanita itu sehingga vaginanya menekan mukanya. Aurelia pun menjerit pelan dan menggeliat merasakan kenikmatan di selangkangannya, terlebih saat gladiator itu menjilati klitorisnya.
“Ahh…ahh…eennaakkk…terruuss….teruuss..” desah Aurelia sambil terus mengocoki penis besar Liberius.
Mendengar desahan nikmat sang istri senator, Liberius semakin memperhebat jilatannya. Jari-jarinya juga masuk untuk mengorek-ngorek liang kenikmatannya dan membelai pelan biji klitorisnya, Gesekan lembut pada titik sensitif tersebut membuat Aurelia makin menggelinjang hebat dilanda api birahi.
”Augh…” Aurelia semakin hanyut dalam lautan birahi, remasan dan kocokannya pada penis pria itu makin cepat, begitu juga hisapan-hisapannya.

Sepuluh menit sudah mereka saling oral kelamin masing-masing dan akhirnya Aurelia mencapai klimaksnya, tubuhnya mengejang sebelum terkulai lemas. Wanita cantik itu tak sanggup berkata-kata lagi saat orgasme pertamanya keluar. Cairan orgasmenya yang membanjir segera diseruput oleh Liberius.

”Kamu memang pintar memuaskanku juara” kata Aurelia yang nafasnya semakin memburu.
”Bukan,” Liberius menggeleng sambil menciumi telinga wanita itu ”justru tubuh andalah yang begitu cantik dan memiliki tubuh yang begitu indah. Aku sangat menginginkannya,” bisik gladiator itu.
”Aku juga menginginkanmu, juara…puaskan aku, jangan buat aku menunggu lagi!” kata wanita itu
Mengangguk penuh kepastian, dengan gerakan cepat Liberius kembali mencumbu tubuh sang istri senator. Aurelia segera membuka kakinya lebar-lebar, mempersilakan Liberius untuk menusuk lubang vaginanya. Liberius memiringkan tubuh wanita itu hingga berbaring menyamping, dan kaki kirinya ia naikkan ke pundaknya. Tanpa banyak omong lagi, ia pun menempelkan kepala penisnya ke bibir vagina Aurelia yang sudah basah. Ia mendorong masuk, lalu menarik keluar, sesekali gerakannya memutar, terus selama beberapa kali hingga penisnya mentok ke dasar vagina wanita itu. Setelahnya barulah ia mulai memompa liang vagina Aurelia. Kali ini Liberius memilih bermain gentle dan menikmati vagina wanita itu secara perlahan-lahan. Setiap sodokannya ia lakukan dengan sepenuh hati, begitu nyaman dan mesra hingga menghasilkan desahan dan rintihan nikmat dari mulut manis Aurelia yang jarang merasakan nikmatnya bercinta. Belum juga lima menit setelah mencapai puncak tadi, Aurelia sudah nampak lebih bernafsu dari sebelumnya. Sekarang dia lebih berani dalam bereaksi, mungkin karena setelah orgasmenya dia menjadi berpikir untuk menikmati persetubuhan ini.
”Aaa…Aurelia…kau wanita yang luar biasa…cantik dan pintar bercinta,” sahut Liberius sambil menggenjot, tangannya meremasi payudara Aurelia yang mulai basah berkeringat.
”Arhhh… kamu juga… penismu enak,” ceracau Aurelia.
Aurelia memejamkan mata menghayati setiap sodokan pada vaginanya, ia juga menggigit-gigit bibirnya seperti ingin melawan rasa nikmat yang sudah menyelubungi tubuh sintalnya. Nafasnya sangat tidak teratur, begitu ngos-ngosan, sementara rambut coklatnya sudah acak-acakan. Sungguh pemandangan yang sangat sensual. Seiring waktu yang berjalan, Liberius semakin mempercepat sodokan penisnya dan semakin berani mengeksplorasi gaya tusukannya. Aurelia kembali mengerang ketika berganti gaya menjadi doggy style dengan tiba-tiba dari belakang pria itu menyodokkan penis besarnya dengan cepat sehingga menyentuh rahimnya.
“Akhhh…sakit…pelan…akhhh.” desahnya di sela-sela genjotan.
“Maaf…aku akan lebih lembut!” kata Liberius, ia lalu memperlambat pompaannya terhadap vagina wanita cantik itu.
Kesempatan itu dipergunakan Aurelia untuk mengambil nafas panjang. Tangan Liberius menggerayangi payudara montoknya dari arah belakang dan dengan penuh nafsu ia meremas kedua gunung kembar itu sehingga kembali Aurelia melenguh merasakan kenikmatan.Tak lama kemudian dengan pompaan sedang Aurelia menegangkan kedua pahanya dan tubuhnya menggelinjang hebat, ia telah mencapai orgasmenya saat itu. Liberius dapat merasakan cairan hangat membasahi batang kemaluannya seiring dengan remasan kuat dinding-dinding vaginanya terhadap penisnya yang masih bercokol di dalamnya. Cairan kewanitaannya semakin banyak yang keluar dan meluber keluar sehingga membasahi dipan di bawahnya.Begitu merasakan remasan dinding-dinding vagina Aurelia sudah mengendur dan orgasmenya sudah hampir selesai, dengan sekuat tenaga Liberius menusukkan batang kejantanannya lagi ke vagina sang istri senator.
Kontan, Aurelia pun menjerit dengan mata membelakak, “Akhhh…pelan…!!” protesnya
Namun kali ini Liberius malah mempercepat sodokan-sodokan batang kemaluannya
“Vaginamu benar-benar nikmat Aurelia. Penisku serasa dipijat-pijat dari tadi.” pujinya sambil tetap memompa penisnya di dalam liang kewanitaan Aurelia sambil kedua tangannya tak henti-hentinya meremas payudara ranumnya dan menggerayangi seluruh lekuk tubuhnya. Aurelia sekarang sudah mulai dapat menikmati pompaan Liberius yang berirama cepat. Klitorisnya terkadang ikut masuk melesak kedalam tiap kali batang kejantanan gladiator itu melolosi bibir vaginanya. Desahan mereka berdua bersahutan memenuhi ruangan kecil itu. Suara berdecak dari tumbukan alat kelamin mereka terdengar nyaring di kamar sederhana itu. Rambut Aurelia sudah semakin acak-acakan sementara keringat membasahi tubuhnya yang seksi itu. Lima menit kemudian Liberius merasakan batang kejantanannya sudah berkedut kencang dan sudah mau menyemburkan lahar kenikmatannya. Ia pun percepat sodokannya lalu di sodokan terakhir ia menghunjamkan penisku sedalam-dalamnya di liang vagina Aurelia lalu menyemprotkan spermanya di dalam liang kenikmatannya berulang-ulang. Mereka ambruk dalam posisi berbaring menyamping di atas dipan sementara dari belakang Liberius masih mendekap wanita cantik itu dengan penis masih tertancap di dalam vaginanya.
“Kamu sungguh liar juara, dari suamiku kami tidak pernah sedahsyat ini.” kata Aurelia sambil memandang sayu pada Liberius.
Liberius melihat raut muka penuh kepuasan di wajah cantik itu. Aurelia lalu menarik lepas batang kemaluan yang masih bercokol di vaginanya perlahan, begitu terlepas cairan putih kental mengalir dari bibir vaginanya yang sekarang sudah berbentuk lubang menganga seperti huruf O dan gelambirnya juga sudah separuh keluar, mungkin karena besarnya penis Liberius yang telah mengaduk-aduknya.

Aurelia bergeser ke bawah meraih penis Liberius yang mulai mengendur, ia memasukkan batang yang masih belepotan sperma dan cairan kewanitaannya itu ke dalam mulutnya lalu mengoralnya perlahan.
“Uhh…Aurelia!” Liberius merem-melek oleh emutan dan jilatan lidah wanita itu, “ternyata kita sama-sama liar yah.” ucapnya sambil tersenyum memandang wanita itu yang terus mengulum penisnya.
“Karena aku yang sekarang adalah wanita jalang, bukan istri senator…kenapa aku tidak boleh bertingkah seperti wanita jalang setidaknya untuk malam ini?” balas Aurelia
Sepuluh menit kemudian Liberius kembali berejakulasi tetapi kali ini di dalam mulut Aurelia dan sebagian cairan putih itu terciprat di wajah cantiknya. Keduanya berbaring telanjang saling berpelukan. Aurelia tersenyum, matanya penuh dengan kepuasan. Malam itu Aurelia menginap di situ dan baru pulang keesokan paginya. Setelah malam kedua bersama istri senator yang cantik itu, selama beberapa hari ke depan Liberius tidak pernah berhenti memikirkannya. Wanita itu seringkali hadir dalam mimpinya, mimpi dari mereka menjadi kekasih, bahkan menjadi suami dan istri. Ia pernah bermimpi memperoleh kebebasan dan menjadi warga kehormatan. Dalam mimpi ia juga melihat perut Aurelia yang sudah membengkak dengan seorang anak dan dia tidur di sampingnya. Mimpi-mimpi ini begitu nyata sehingga ia sering merenung, apakah ada arti dari mimpi-mimpi tersebut? Selama berbulan-bulan ke depan, Liberius menunggu berita dari wanita itu. Setiap kali ia bertarung di arena ia berharap dapat melihatnya di podium seperti dulu, namun ia sudah tidak pernah terlihat lagi mendampingi suaminya. Akhirnya ia mendapat kabar dari salah seorang prajurit yang sering ngobrol dengannya mengenai kabar Aurelia.
“Istri senator sedang hamil tua dan akan melahirkan seorang anak laki. Dia banyak istirahat akhir-akhir ini dan sudah jarang terlihat di muka umum” kata sang prajurit.
Ada rasa senang mendengar kabar itu, anak laki-laki, berarti tujuannya telah tercapai. Senator Gaius menjanjikan hadiah untuk itu, ia berharap sang senator tidak akan lupa janjinya.

#############################
Februari 100 SM

Hari itu adalah menjelang Festival Lupercalia, yaitu perayaan memasuki musim semi dan juga penghormatan terhadap serigala betina yang membesarkan Remus dan Romulus, dua orang pendiri Roma yang dibuang ketika bayi. Sebuah pertandingan besar telah disiapkan untuk menyambut festival tersebut, tentunya Liberius sang bintang arena tidak akan absen darinya. Seperti biasa, sehari sebelum pertarungan, Ampilatus selaku lanista, menyediakan makanan mewah untuk para gladiatornya yang akan bertarung besok; Beberapa gladiator makan dengan rakusnya karena menganggap ini adalah jamuan terakhir mereka, beberapa lainnya memanfaatkan waktu dengan mengucapkan salam perpisahan pada teman-temannya, sementara sisanya menahan diri dan makan secukupnya berserah pada takdir yang akan ditentukan dalam pertarungan besok. Liberius sendiri termasuk yang makan secukupnya dan tidak terlalu banyak omong, hanya sesekali ia mengobrol atau menanggapi gurauan temannya. Hatinya berharap kebebasan itu datang keesokan harinya karena biasanya pada perayaan-perayaan penting, pejabat yang memimpin pertandingan akan memberi kemurahan hati dengan menganugerahkan rudis (pedang kayu tanda kebebasan) pada pemenang atau mereka yang bertarung dengan baik. Bila ia mendapatkan rudis berarti tidak perlu lagi menebus kebebasannya dengan uang yang mungkin bisa dipakai untuk modal usaha setelah bebas nanti.
“Liberius!” Ampilatus menepuk bahunya dari belakang membuyarkan lamunannya, “sebentar lagi, besok mungkin pertempuran terakhirmu, apa yang kau inginkan mungkin akan segera tercapai…ya kebebasan itu”
Liberius hanya mengangguk lalu menyeruput lagi sup yang sedang disantapnya.
“Mungkin selama ini aku belum pernah menanyakan hal ini karena yakin akan kemampuanmu, tapi bila saja terjadi sesuatu padamu di arena, akan kau wariskan pada siapa uang yang telah kau kumpulkan selama ini yang jumlahnya sudah cukup banyak itu?”
Gladiator itu terdiam berpikir, ia sudah tidak punya keluarga lagi, mula-mula terlintas di benaknya para wanita yang pernah bercinta dengannya, pelacur maupun budak, tapi yang mana? Tiba-tiba ia teringat lagi, seorang gadis budak yang pernah membuatnya merasa iba dan tersentuh.
“Marcia, gadis Asiria itu” jawabnya mantap
“Baiklah kalau itu keputusanmu, aku jamin hartamu akan diwariskan padanya bila terjadi sesuatu padamu, istirahatlah yang cukup untuk besok, semoga berjaya di arena” Ampilatus mengangkat cawan mengajaknya bersulang.

#########################
Keesokan harinya

Acara pagi dimulai dengan venatio/ perburuan hewan dimana gladiator akan bertarung dengan hewan-hewan buas. Ketika venatio berakhir, binatang-binatang yang mati diseret keluar dari arena.Matahari bakal semakin terik, bau anyir darah pun semakin tercium seiring dengan panasnya suasana di bawah tenda arena. Lagu dan nyanyian mengalihkan perhatian penonton dari kesibukan pembersihan arena. Liberius sedang menunggu gilirannya tampil dalam acara berikutnya, yaitu noxii, dimana para narapidana, sampah masyarakat, dan kriminal digiring ke arena dengan persenjataan dan pelindung seadanya untuk dibantai oleh gladiator. Kemungkinan untuk selamat bagi golongan terhukum ini sangat kecil karena mereka biasanya berhadapan dengan gladiator senior dengan zirah dan senjata lengkap. Orang Romawi percaya bahwa pertunjukkan gladiator memperbolehkan orang hukuman untuk bertarung dan menunjukkan sifat yang mengakar dalam nilai-nilai moral Romawi yaitu virtus/ kebajikan. Di sinilah mereka mendapat kesempatan untuk menunjukkan keberanian dan semangat ketika berhadapan dengan maut, dengan kematian setidaknya mereka dapat mengangkat kehidupan biadab mereka ke tingkat yang lebih tinggi dengan mati seperti orang Romawi.
“Liberius, bersiaplah, kau akan menjadi algojo” kata Ampilatus mendatangi Liberius di ruang tunggu seraya menyodorkan cawan berisi anggur, “aku ingin memberimu selamat terlebih dahulu, kemungkinan kau akan memperoleh kebebasan setelah ini dengan tampil sebaik mungkin”
Gladiator itu menerima cawan itu dan meminumnya setelah bersulang dengan sang dominus.
“Liberius!” seru prajurit penjaga gerbang memanggil namanya.
“Dominus, sudah saatnya!” gladiator itu meraih gladiusnya dan bersiap ke arena.
“Eeerrr…Liberius!” lanista itu memanggilnya, Liberius berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, “…..tidak….tidak apa-apa….” ia seperti mau mengatakan sesuatu tapi tidak bisa, “oohh…kau tidak memakai helm?”
“Tidak perlu, lawan kali ini enam orang, helm membatasi pandangan dan mengurangi pendengaran”
“Baik..semoga berhasil!”
Senyum menghiasi wajah sangar gladiator itu sambil melambai pada Ampilatus dan memberi salam pada para rekannya di lorong itu, ia berjalan ke arah gerbang yang telah terbuka.

Penonton bersorak ketika Liberius memasuki arena seperti biasa. Dia melayangkan pandangnya ke arah podium utama tempat para tamu terhormat. Senator Gaius duduk di bangku kehormatan, tanpa istrinya, di sebelahnya duduk walikota Pompeii, Calixtus. Dari gerbang lainnya keluarlah tujuh orang hanya memakai cawat dan menyandang senjata. Mereka semua adalah para bandit Gunung Vesuvius yang berhasil ditaklukkan oleh pasukan Romawi dan akan dieksekusi di arena. Yang brewok dan berambut gimbal adalah ketua mereka yang bernama Negrimus, seorang dengan reputasi mengerikan, rampok yang tidak pernah membiarkan korbannya hidup dan juga pemerkosa brutal. Setelah aba-aba mulai dan terompet dibunyikan pertarungan berdarah pun dimulai. Salah satu dari mereka melemparkan tombaknya ke arah Liberius yang dapat ditangkis dengan mudah dengan perisainya. Keenam orang tersebut membentuk lingkaran di sekeliling Liberius untuk mengepungnya. Denting senjata dan perisai berlangsung selama beberapa saat. Buk! Liberius menendang bandit yang memegang martil sebelum ia melakukan sebuah pukulan keras. Bandit itu terjengkang dan Liberius memanfaatkan kesempatan itu untuk menghujamkan gladiusnya ke pahanya.
“Aaaakkkhhh!!” jerit kesakitan langsung terdengar dari mulut si bandit yang pahanya tertembus gladius hingga menancap di tanah.
Tanpa membuang kesempatan, Liberius merebut martilnya yang terlepas, ia mengangkatnya lalu memukulkannya sekuat tenaga. ‘Krak!’ terdengar suara tulang berderak yang memualkan disusul gemuruh riuh seruan dari bangku penonton. Bandit itu tewas dengan kepala hancur berantakan, otak dan isi kepalanya berceceran di atas pasir, sebagian menempel di martil. Beberapa wanita termasuk istri walikota sampai memalingkan wajah dan menahan mual karena tidak tahan melihatnya. Kelima bandit lainnya sempat ciut nyalinya melihat kematian teman mereka yang mengerikan itu dan sosok raksasa Liberius yang gagah itu.
“Maju tolol, toh kita harus mati juga!” bentak Negrimus menendang pantat salah seorang anak buahnya yang melangkah mundur.
Sadar tidak ada pilihan lagi, para bandit terhukum itu pun kembali menyerang Liberius. Negrimus yang bersenjatakan sica (pedang melengkung) melakukan serangkaian serangan gencar untuk menekan Liberius habis-habisan. Pertarungan berlangsung semakin sengit, keempat anak buah Negrimus juga tak kalah ganas menyerang sang juara. Dengan tubuhnya yang besar, Liberius memang tidak mampu bergerak lincah, namun ia piawai memainkan tameng dan gladiusnya untuk menangkis setiap serangan mereka. Beberapa saat kemudian ia berhasil menghabisi lawan kedua, gladiusnya menembus bawah dagu bandit berkepala botak bersenjata sama dengannya hingga ujung senjata itu keluar di ubun-ubunnya. Ia mencabut senjatanya dan menendang tubuh lawannya yang sudah tidak bernyawa, ketika hendak melakukan serangan berikutnya, mendadak ia merasakan sesuatu yang tidak beres pada tubuhnya, rasa pening disertai otot-otot tubuhnya serasa kejang. Seorang bandit menyerangnya dengan tombak namun ia terlambat menghindarinya sehingga mengenai rusuk kanannya. Sebelum senjata itu menusuk lebih dalam ia dengan cepat membuang tameng dan gladiusnya untuk menahan gagang tombak. Kini ia sedang adu tenaga dengan si bandit yang menusuknya sambil menahan sakit.

“Dia kena! Serang!!” seru Negrimus merangsek ke depan berbarengan dengan dua anak buahnya.
Liberius mengerahkan segenap tenaganya ke tangannya yang menahan tombak itu, dengan tenaganya yang besar ia mengangkat gagang tombak sehingga tubuh si bandit juga ikut terangkat lalu memutar tubuhnya hingga bandit itu terpaksa melepaskan pegangannya dari gagang tombak dan terjatuh.
“Aaaahhhh!” Liberius memekik sambil menarik keluar tombak yang menancap di rusuknya lalu mengacung-acungkan mata tombak ke arah empat lawannya itu.
Para penonton termasuk Senator Gaius dan Ampilatus, serta gladiator lain yang menyaksikan lewat lubang di lorong tunggu, menahan nafas dan dada mereka berdebar menyaksikan pertunjukkan yang makin menegangkan itu.
Dalam waktu relatif singkat Liberius merasakan staminanya turun drastis, keringat dingin mulai mengucuri dahi dan tubuhnya, belum lagi kini ditambah luka bekas tusukan yang terus mengucurkan darah.
“Apa yang terjadi? Racun…anggur itu…tapi kenapa?” ia menatap ke arah Ampilatus di podium utama.
Lanista itu hanya mampu membalas sorot mata garang gladiatornya dengan tatapan penuh rasa bersalah dan penyesalan sebelum akhirnya tertunduk tidak sanggup menatap lagi.
“Maaf kawan…aku terlalu jauh, aku tidak menyangka ambisiku pada akhirnya harus mengorbankan dirimu” katanya dalam hati.
Bandit yang terlempar oleh Liberius tadi memungut martil yang menghancurkan kepala temannya, lalu berbarengan mereka menyerang gladiator yang terluka itu. Seorang bandit yang menyerang dari sisi kiri dengan kampak, Liberius menahan dengan gagang tombak, namun karena tenaganya cukup kuat, kampak itu menebas putus gagang tombak dan terus turun mengenai bahu kirinya. Dengan raungan bagaikan harimau terluka, Liberius menghantam kepala bandit itu dengan gagang tombak yang putus lalu menghujamkan mata tombak ke dada si bandit. Namun racun semakin menjalar di tubuhnya, kepalanya semakin pening dan tenaganya makin terkuras sehingga ia tidak sanggup menghindari serangan lainnya, pedang Negrimus berhasil menebas punggungnya dan bandit yang satunya lagi menusukkan pedangnya ke perut sang juara. Beberapa penonton yang mengaggumi Liberius berteriak ngeri dan tidak berani melihat. Sambil menahan pedang yang menusuk perutnya, Liberius menyarangkan beberapa bogem ke wajah lawannya. Bandit itu tetap bertahan, kesempatan berikutnya datang ketika dari arah samping Negrimus mencoba menusuknya dengan sica. Liberius segera menyambar leher bandit itu, kembali ia memaksakan diri menghimpun tenaganya mengangkat tubuh si bandit ke samping. Jrebbbb…senjata Negrimus menikam punggung anak buahnya sendiri yang langsung menjerit dan tewas seketika. Ia menendang mayat itu sehingga menindih Negrimus, namun begitu berbalik ia melihat martil terayun mengincar kepalanya, cepat-cepat ia menahannya dengan lengan yang terlindungi oleh sisik-sisik logam. Serangan fatal itu berhasil ditahan oleh lengannya sehingga tidak berakibat fatal, namun tak urung lengan kirinya terasa remuk oleh serangan tersebut. Sebelum lawannya sempat menstabilkan posisi, ia menjegalnya hingga terjatuh lalu mencabut pedang pendek di perutnya dan….
“Aaaaaaa…..!!” bandit itu menjerit melihat mata pedang menghujam ke arah wajahnya.
Jeritan itu terputus saat pedang itu terbenam di mulutnya yang menganga hingga tembus menancap di tanah. Buru-buru ia menyambar gladiusnya yang tergeletak tak jauh dari situ.

Kini ia tinggal berhadapan dengan si kepala bandit Negrimus. Penonton makin tegang, terutama Senator Gaius dan Ampilatus yang tahu persis apa yang terjadi pada sang gladiator.
“Kau yakin sudah melakukannya” bisik sang senator pada Ampilatus yang duduk di sebelahnya.
“Tentu sudah, aku sendiri yang memberikannya” jawab Ampilatus dengan suara pelan.
“Kalau saja Roma memiliki prajurit seperti dia, kita tidak akan perlu takut lagi kepada para barbar Galia dan Jerman” kata Senator Gaius yang diaminkan oleh mereka di dekat situ yang mendengar.
Kedua petarung yang tersisa saling menjaga jarak dan menunggu kesempatan menyerang. Liberius yang sudah kehilangan banyak darah dan pandangannya mulai kabur tetap berdiri dalam posisinya dengan gagah tidak ingin menunjukkan kondisinya yang sudah payah pada lawannya dan penonton. Negrimus menyerang dengan pedangnya dan Liberius menangkisnya sehingga keduanya terlibat adu pedang beberapa saat. Sesungguhnya Negrimus hanya ingin mengetes kondisi Liberius, ia menyeringai melihat Liberius yang menangkis serangannya dengan susah payah. Setelah mundur sejenak dan mengatur strategi, kembali Negrimus menyerang, kali ini lebih ganas. Ribuan pasang mata menatap tak berkedip ke arah dua orang yang sedang bertarung itu. Tegang, iba, kagum, bersemangat, berbagai macam perasaan mewarnai koloseum Pompeii saat itu. Dalam kondisi terluka parah, Liberius tak sempat menghindari manuver Negrimus yang akhirnya berhasil menusuk perutnya dengan sica. Bandit itu menarik kembali senjatanya dan sang juara pun terjatuh pada kedua lututnya. Ia memandang dengan marah dan kecewa pada tuannnya dan sang senator. Bagaimanapun Senator Gaius tidak ingin skandal meminjam bibitnya bocor dan menodai karir serta reputasinya yang nyaris tak bercacat di depan publik. Maka untuk mencegah kemungkinan buruk di masa depan, Liberius harus dilenyapkan.
“Aku tidak pernah percaya pada orang barbar!” demikian bentaknya ketika Ampilatus mencoba membujuknya untuk mengurungkan niat tersebut.
“Hahaha…aku tidak menyangka, aku akhirnya dapat mengalahkan sang juara, Liberius, bayangan kematian” Negrimus menendang gladius Liberius menjauh darinya sambil tertawa mengejek siap mengakhiri nyawanya
Bandit itu mengayunkan pedangnya ke samping leher sang juara untuk menebasnya. Namun sebelum sica menyentuh lehernya, Liberius melakukan gerakan tak terduga dengan memiringkan lehernya ke samping dan menurunkan kepalanya sehingga tebasan Negrimus hanya mengenai angin. Selagi bandit itu terkejut dan terbawa oleh tenaga tebasannya sendiri, Liberius menangkap lengannya dan memelintirnya. Negrimus berteriak kesakitan dan menjatuhkan senjatanya. Dengan sisa tenaga terakhirnya, Liberius menyambar sica sang bandit sebelum menyentuh tanah. Satu tebasan dengan segera memisahkan kepala sang bandit dari tubuhnya. Suara gemuruh langsung memenuhi koloseum menyoraki kemenangannya, dari mereka yang mengaguminya maupun yang menang taruhan. Kembali Liberius jatuh berlutut tidak kuat lagi menopang tubuhnya yang sudah kehilangan banyak darah dan keracunan. Ia berlutut menghadap podium utama, bahkan Senator Gaius dan Ampilatus pun tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka atas kemenangannya yang luar biasa ini. Sementara bagi Liberius, ia merasakan pandangannya semakin kabur, sorak sorai penonton yang mengelu-elukannya juga semakin tidak terdengar, di deretan bangku penonton, ia sekonyong-konyong melihat istri dan anak laki-lakinya yang telah lama mendahuluinya. Mereka tersenyum padanya dengan penuh kebanggaan, kepada mereka ia pun balas tersenyum, senyum yang tulus dan hangat dari wajahnya yang seram. Itu adalah senyumnya yang terakhir karena setelah itu kepalanya jatuh tertunduk dan tubuhnya tidak bergerak lagi dalam posisi berlutut.

Setelah diumumkan sang juara gugur dalam pertempuran, semua yang hadir berdiri dan memberikan penghormatan terakhir padanya.
“Di medan perang maupun di arena, aku telah banyak mereka yang menyongsong maut dengan gagah, namun tidak ada yang membuatku lebih terharu dibandingkan kematiannya. Ketika mempelajari sejarah, aku selalu penasaran dan membayangkan betapa gagahnya Raja Leonidas dari Sparta ketika gugur dalam pertempuran melawan Persia. Sekarang rasa penasaran itu sudah terjawab, aku telah menyaksikan Leonidas dalam dirinya. Dia memang bukan orang Romawi, namun ia telah mati seperti orang Romawi dan ia adalah bagian dari kita. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi virtus, marilah kita memberikan penghormatan terakhir pada Liberius, sang juara Pompeii, biarlah semangatnya tetap dalam hati kita selalu!” demikian Senator Gaius menyampaikan pidato ketika mengakhiri pertandingan hari itu, walaupun dialah yang otak di balik kematian tragis Liberius, namun kata-kata berisi kekaguman itu mengalir begitu saja tanpa dibuat-buat. Bagi sang juara yang telah gugur di arena itu, sang senator memakamkannya dengan prosesi mewah dan terhormat, ia juga membangun sebuah monumen baginya. Pada monumen tersebut tertulis, ‘Didirikan untuk mengenang Liberius, juara Pompeii, gladiator terbaik republik’

##########################
Epillog

Pertengahan tahun itu Aurelia melahirkan anak yang dikandungnya, seorang bayi laki-laki yang sehat dan gagah. Ia dididik dengan baik dan kelak tumbuh menjadi seorang pria yang cerdas, berwawasan luas dan ahli bertarung di medan perang. Anak itu diberi nama sama dengan ayahnya, Gaius Julius Caesar yang lebih dikenal dalam sejarah dengan nama Julius Caesar, yang kelak akan memberi pengaruh besar terhadap sejarah bangsanya dan juga dunia, dialah yang menjadi peletak dasar Kekaisaran Romawi dan memperluas wilayahnya hingga Mesir dan Galia (Prancis). Marcia, si gadis Asiria itu, terkejut begitu diumumkan dirinya menerima sejumlah uang bernilai besar, kaget, senang, sekaligus sedih karena bersamaan dengan berita gugurnya Liberius di arena. Uang itu lebih dari cukup untuk menebus kebebasannya. Ia lalu pindah ke desa tak jauh dari Pompeii dimana ia membeli sebidang tanah dan mendirikan sebuah penginapan dari uang yang tersisa. Belakangan ia menikah dengan seorang pria lokal dan berkeluarga. Mereka hidup bahagia dan dikaruniai banyak anak, usaha mereka pun maju sehingga menjadi keluarga terpandang di desa tersebut. Setiap tahun setiap hari kematian Liberius, ia selalu menyempatkan diri berziarah di makamnya
“Mungkin dia hanyalah orang kasar yang hanya mampu memegang senjata, sekarang ini mungkin tidak ada lagi yang mengingat namanya selain aku, tapi bagaimanapun tanpa dia, tidak akan ada hari ini yang indah bersamamu dan anak-anak, mungkin aku masih menjadi budak hingga ajal menjelang.” katanya pada suaminya di depan makam sang gladiator.
Marcia dikaruniai umur panjang hingga rambutnya memutih dan akhirnya menutup mata dengan tenang, ia sempat menyaksikan Pemberontakan Spartacus dan Perang Sipil Roma. Ampilatus, sesuai yang dijanjikan sang senator, menjadi pejabat publik di Roma namun ia tidak lama menikmati posisinya. Dihantui perasaan bersalah dan penyesalan, ia mulai mengalami gangguan kejiwaan dan meninggal dalam kegilaan hanya dua tahun setelah menjabat, istri dan anaknya jatuh bangkrut setelah kematiannya dan menghabiskan sisa hidup mereka dalam kemelaratan.–,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

TAMAT

Related posts